Minggu, 26 Februari 2012

Psikologi


     HUBUNGAN INTERPERSONAL PESERTA DIDIK DAN TINGKAH LAKU PROSOSIAL PESERTA DIDIK                       
Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
‘ Psikologi’

Disusun Oleh kelompok: 5
Ø  Ilin Indah Pornama Sari
Ø  Lailatul Mufidah
Ø  Luthfiatul Muthoharoh
Ø  Thoifatun Nairuhah

Dosen Pembimbing: Julianne Kamelia Riza, S.Spi

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
‘ AL-URWATUL WUTSQO’
JOMBANG
TAHUN AKADEMIK 2011/2012

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim
     Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
     Berangkat dari judul yang ditentukan pembimbing, yakni “Hubungan Interpersonal Peserta Didik dan Tingkah Laku Prososial Peserta Didik”, harapan kami semoga makalah yang sangat sederhana ini dapat memberikan manfaat dan tambahan terhadap penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.
     Kami menyadari bahwa kekurangan tentu masih banyak dalam penulisan makalah ini, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak kami harapkan.











DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL                                                                                     i
KATA PENGANTAR                                                                                   ii
DAFTAR ISI                                                                                                  iii
BAB I PENDAHULUAN    
A.    Latar Belakang                                                                              1
B.     Rumusan Masalah                                                                         1
C.     Tujuan Pembahasan                                                                      2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Hubungan dengan Keluarga                                                               3
B.    Hubungan dengan Teman Sebaya                                                       6
C.    Persahabatan                                                                                    10
D.    Hubungan dengan Sekolah                                                                11
E.     Tingkah Laku Prososial                                                                     13       
F.     Faktor yang Mempengaruhi Tingkah Laku Prososial                           16
G.    Implikasi Perkembangan Tingkah laku Prososial dengan konseling      17
BAB III KESIMPULAN                                                                              19

DAFTAR PUSTAKA                                                                                 21                                                       







BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Guru merupakan symbol otoritas dalam menciptakan iklim kelas dan kondisi interaksi di antara murid-murid. Oleh sebab itu sikap guru terhadap siswa mereka adalah penting, sebab guru mengambil suatu peran sentral dalam kehidupan anak-anak, yang sangat menentukan bagaimana mereka merasakan berada di sekolah dan bagaimana mereka merasakan diri mereka. Ada beberapa hal yang kadang kala dapat menghambat pemahaman peserta didik untuk menangkap pelajaran yang disampaikan oleh guru. Untuk itu setiap guru hendaknya faham tentang kondisi setiap anak didiknya. Hal itu bias dilakukan dengan cara mengetahui hubungan interpersonal murid dengan keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah, dan lain-lain. Dengan begitu seorang guru mampu mengambil tindakan yang tepan dalam mengatasi hambatan tersebut.
Terdapat beberapa tingkah laku social positif yang dilakukan peserta didik, di antaranya adalah tingkah laku yang membuat kondisi fisik atau psikis orang lain menjadi lebih baik, kondisi itu biasa disebut dengan tingkah laku prososial.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut ;
1.      Bagaimana hubungan interpersonal antara anak dengan keluarga?
2.      Bagaimana hubungan interpersonal antara anak dengan teman sebaya?
3.      Apakah persahabatan itu?
4.      Bagaimana hubungan interpersonal antar anak dengan sekolah?
5.      Apa yang dimaksud tingkah laku prososial?
6.      Apa saja faktor yang mempengaruhi tingkah laku prososial?
7.      Bagaimana implikasi Perkembangan tingkah laku prososial dengan konseling?

1
C.    Tujuan pembahasan


1.      Untuk mengetahui hubungan interpersonal antara anak dengan keluarga
2.      Untuk mengetahui hubungan interpersonal antara anak dengan teman sebaya
3.      Untuk mengetahui pengertian persahabatan itu
4.      Untuk mengetahui hubungan interpersonal antar anak dengan sekolah
5.      Untuk mengetahui pengertian tingkah laku prososial
6.      Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi tingkah laku prososial
7.      Untuk mengetahui implikasi Perkembangan tingkah laku prososial dengan konseling












2
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hubungan dengan keluarga
1.    Masa anak-anak awal
                               Selama tahun-tahun prasekolah, hubungan dengan orang atau pengasuhnya merupakan dasarbagi pekembangan emosional dan sosial anak. Sejumlah ahli mempercayai bahwa kasih sayang orang tua atau pengasuh selama beberapa tahun pertama kehidupan merupakan kunci utama perkembangan soaial anak, meningkatkan kemungkinan anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang baik pada tahun-tahun prasekolah dan sesudahnya.
                           Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adlah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Study klasik tentang hubungan orang tua dan anak yang dilakukan Diana Baumrind 1972 (dalam lerner dan hultsch) merekomendasikan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak, yaitu otoritatif, otoriter dan permisif.
                           Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan  pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersikap responsif,  menghargai dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikut sertakan anak dalam pengambilan keputusan. Anak-anak prasekolah dari orang tua otoritatif cenderung lebih percaya pada diri sendiri, pengawasan diri sendiri, dan mampu bergaul baik dengan teman-teman sebayanya. Pengasuhaqn otoritatif juga diasosiasikan dengan rasa harga diri yang tinggi (high self –esteem) memiliki moral standar, kematangan psikososial, kemandirian sukses dalam belajar. Dan bertanggung jawab secara sosial.
                           Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting)adalah suatu gaya pengasuahan membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-bats yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengungkapkan pendapat.Orang tua otoriter juga cenderung bersikap sewenang-wenang dan tidak demokratis dalam membuat keputusan, memaksakan peran-peran atau pandangan-pandangan kepada pemikiran dan persaan mereka. Anak dari orang tua yang bersifat otoriter cenderung curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan mempunyai prestasi belajar yang rendah dibanding dengan anak-anak lain.
                           Pengasuhan permesif (permissive parenting) gaya pengasuhan permesif dapat dibedakan

dalam  dua bentuk, yaitu pertama pengasuhan permissive-indulgent yaitu suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam  kehidupan anak, tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali atas mereka sendiri dan selalu menharapkan agar semua kemauannya dituruti. Kedua, pengasuhan permessive-indifferent, yaitu semua gaya pengasuhan dimana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua ini biasanya cenderung kurang percaya diri, pengendalian diri yang buruk, dan harga diri yang rendah.
2.    Masa pertengahan dan akhir anak-anak
                           Kemerosotan dalam hubungan keluarga yang di mulai pada akhir masa bayi terus berlanjut pada masa pertengahan dan akhir anak-anak. Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang, maka pada masa pertengahan dan akhir, anak secara berangsur-angsur lebih banyak mempelajarimengenal sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, perubahan ini mempunyai dampak yang besar  terhadap kualitas hubungan anak-anak usia sekolah dan orang tua mereka (dalam seifert dan hoffnung, 1994). Dalam hal ini, orang tua meraskan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal kehidupan mereka. Beberapa kendali dialihkan dari orang tua kepada anaknya, walaupun prosesnya secara bertahap dan merupakan koregulasi.
                           Dengan demikian, meskipun terjadinya pengurangan pengawasan dari orang tua terhadap anaknya selama masa akhir anak-anak ini, bukan berarti orang tua sama sekali melepaskan mereka. Sebaliknya orang tua  masih memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam memelihara diri mereka, sekalipun secara tidak langsung.
                           Perubahan-perubahan ini berperan dalam pembentukan stereotip pengasuhan dari orang tua sepanjang masa akhir anak-anak. Dalam hal ini orang tua memandang pengasuhan hanya meliputi mengurus masalah makanan, atau penerapan beberapa aturan saja. Stereotip pengasuhan demikian jelas tidak mempertimbangkan aktivitas orang tua dan anak yang masih sering dilakukan secara bersama-sama. Stereotip pengasuhan ini juga tidak mempertimbangkan hubungan emosional  yang mendasari aktivitas-aktivitas tersebut.
                           Pada periode ini, orang  tua dan anak-anak masih mempunyai sekumpulan pengalamamn masa lalu bersama, dan pengalaman ini membuat hubungan keluarga menjadi bertambah unik dan penuh arti. Suatu studi mendokumentasikan mengenai gagasan ini dengan menganalisis dari anak-anak ini bahwa mereka selamanya menghsrgsi kehadirang ibu dalam kehidupan mereka:”Dia selalu hadir untuk mendengarkan” kata seorang anak. Mereka juga mengahrgai empati atau sensifitas yang diberikan oleh ibu mereka : “Dia nampaknya selalu memahami bagaimana perasaan saya”. Komentar ini menyiratkan bahwa pada masa akhir anak-anak, secara tipikal, ikatan antara orang tua

dan anak-anak adalah sangat  kuat (sefert dan hoffnung, 1994).
3.    Masa remaja
                           Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosial yang terjadi dalam perkembangan remaja menonjol dari remaja yang mempenagruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik maupun pikologis. Karena remaja meluangkan lebih sedikit waktunya bersama orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, maka mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide, seiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang yang berasal dari orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Orang tua tidak lagi dipandnag otoritas yang serba tahu. Secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih matang dan realistis dari orang tua mereka. Kesadaran bahwa mereka adalah seorang yang memiliki kemampuan, bakat, dan pengetahuan tertentu, mereka memandang orang tua sebagai orang yang harus dihormati, dan sekaligus dari proses pencapaian otonomi psikologis ini mengharuskan anak remaja untuk meninjau kembali gambaran tentang orang tua dan mengembangkan ide-ide pribadi.
                           Beberapa peneliti tentang perkembangan anak remaja menyatakan bahwa pencapaian otonimi psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa remaja, akan tetapi terdapat perbedaan mengenai tipe lingkungan keluarga yang lebih kondusif bagi perkembangan otonomi ini. Sejumlah teoritis dan penelitian kontemporer menyatakan bahwa otonomi yang baik berkembang dari hubungan orang tua yang positif dan suportif. Menurut mereka, hubungan orang tua yang suportif memungkinkan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif, yang membantu perkembangan kompetensi sosial dan otonomi yang bertanggung jawab. Hasil penelitian lambor dan stemberg (1993) misalnya, menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi tampaknya berhasil dengan sangat baik dalam lingkungan keluarga yang simultan memberikan dorongan dan kesempatan bagi remaja untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap tergantung secara emosional pada orang tuanya mungkin dirinya selalu merasa enak, mereka terlihat kurang kompenten, kurang percaya diri, kuarang berhasil dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan renaja yang mencapai kebebasan emosional (Dacey dan Kenny, 1997).
                           Belakangan, para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran keterikatan yang aman (scure attachment) dengan orang tua terhadap perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa

keterikatan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya, seperti tercermin dalam cirri-ciri: harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Misalnya, remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua mereka, memiliki harga diri dan kesejahteraan yang emosional yang lebih baik. Sebaliknya, ketidakdekatan  (detachment) emosional dengan orang tua berhubungan denagn perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantic yang dimiliki diri sendiri (santrock, 1995).
                           Dengan demikian, keterikatan dengan orang tua selam masa remaja dapat  berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis. Keterikatan yang kokoh dengan orang tua akan meningkatkan relasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten dan hubungan erat yang positif diluar keluarga. Keterikatan yang kokoh dengan orang tua juga dapat menyangga remaja dari kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai akibat dari masa transisi, dari masa anak-anak ke masa dewasa.
                           Begitu pentingnya factor keterikatan yang kuat antara orang tua dengan remaja dalam menentukan arah perkembangan remaja, maka orang tua senantiasa harus menjaga dan mempertahankan keterikatan atau kedekatan orang tua dengan anak remaja mereka, orang tua harus membiarkan mereka bebas untuk berkembang hanya dengan cara melepaskan mereka suatu kehidupan yang koeksistensi yang penuh kedamaian dan makna  orang tua           dan remaja bias dicapai. Dengan perkataan lain, bahwa ketika remaja menuntut otonomi, maka orang tua yang bijaksana harus melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal, disamping terus memberikan bimbingan untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana pengetahuan anak remajanya masih terbatas.
B.   Hubungan dengan teman sebaya
1.    Masa anak-anak awal
                           Perkembangan psikososial dan kepribadian sejak usia prasekolah hingga akhir masa ditandai oleh semakin  meluasnya pergaulan sosial, terutama dengan teman sebaya. Dengan sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial, atau yang memiliki kesamaan ciri-ciri, seperti kesamaan tingkat usia(hetherington dan parke, 1981). Akan tetapi, belakangan definisi teman sebaya lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis(Lewis dan Rosenblum, 1975).
                           Sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman

sebaya memiliki arti yang sangat penting  bagi perkembangan pribadi anak. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting ialah menyediakan suatu sumber informasi dan  umpan balik  tentang kemampuan-kemampuan  mereka dari kelpompok teman sebaya. Anak-anak mengavaluasi apakah yang mereka  lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain.  Menggunakan  orang lain sebagai tolok ukur untuk membandingkan dirinya. Proses pembandingan sosial ini merupakan dasar bagi pembentukan rasa harga diri dan gambaran diri anak(hethering dan parke, 1981).
                           Dari beberapa investigasi yang dilakukan oleh para ahli perkembangan menunjukkan bahwa relasi yang baik antar teman sebaya memiliki peran penting dalam perkembangan sosial yang normal. Isolasi sosial atau ketidak mampuan untuk melebur ke dalam suatu jaringan sosial, diasosiasikan dengan banyak masalah dan kelainan yang beragam, mulai dari kenakalan dan masalah minuman keras hingga depresi. Bahkan relasi yang buruk diantara teman-teman sebaya pada masa anak-anak diasosiasikan dengan suatu kecenderungan untuk putus sekolah perilaku nakal pada masa remaja. Sebaliknya, relasi yang harmonis diantara teman-teman sebaya pada masa  remaja diasosiasikan denagn kesehatan mental yang positif pada usia tengah baya(Santrock,1995).
2.    Masa pertengahan dan akhir anak-anak.
Seperti halnya dengan masa awal anak-anak, berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Barker dan Wright (dalam , 1995) mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10% waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia tahun 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20%. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 meluangkan lebih dari 40% waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.
Ø Pembentukan kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak pada periode akhir ini terjadi dalam group atau kelompok, sehingga periode ini sering disebut usia kelompok. Pada masa ini, anaka tidak lagi puas bermain sendirian dirumah, atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota keluarga. Hal ini adalah karena anaka memiliki keinginan yang kuat untuk di terima sebagai anggota kelompok, serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Dalam menentukan sebuah kelompok teman, anak usia sekolah dasar ini lebih menekankan pentingnya aktivitas bersama-bersama, seperti berbicara, berkeluyuran, berjalan ke sekolah, berbicara malalui telephon, mendengarkan musik, bermain game,  dan melucu. Tinggal di lingkungan yang sama, bersekolah disekolah yang sama, dan kemungkinan

terbentuknya kelompok teman sebaya (Rubin dan Krasnor,1980). Mencatat adanya perubahan sifat dari kelompok teman sebaya pada masa pertengahan anak-anak ketika anak berusia 6 hingga 7 tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih dari pada kelompok bermain; mereka memilik sedikit peraturan dan tidak terstruktur untuk menjelaskan peran dan kemudahan berinteraksi diantara anggota-anggotanya. Kelompok terbentuk secara spontan. Ketika anak berusia 9 tahun, kelompok-kelompok menjadi lebih formal. Sekarang anak-anak berkumpul menurur minat yang sama dan merencanakan perlombaan-perlombaan. Mereka membentuk klub atau kelompok dengan aturan-aturan tertentu. Kelompok-kelompok ini mempunyai keanggotaan inti; masing-masing anggota harus berpartisipasi dalam aktivitas kelompn ok, dan yang bukan anggota dikluarkan.
Ø Popularitas, penerimaan sosial dan penolakan
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, anak mulai mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Hal ini terlihat pada anak-anak kelas dua atau kelas tiga yang telah memiliki stereotip. Budaya tentang tubuh. Dalm hal ini mereka misalnya menilai bahwa anak alki-laki yang tegap (berotot) lebih disenangi dari pada anak laki-laki yang gemuk atau yang kurus. Kemudian pemilihan teman dari anak-anak ini terus meningkat dengan lebih mendasarkan pada kualitas pribadi, seperti kejujuran, kebaikan hati, humor dan kreatifitas.
Para ahli psikologi perkembangan telah lama mempelajari pembentuka kelompok teman sebaya dan status dalam  untuk menentukan mana anak-anak yang sering sendiri dan mana yang disenangi oleh anak-anak lain. Dalam penelitian ini, mereka tealh menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri, (Hallman,1981), yaitu suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menentukan status dan penerimaan sosial anak diantara teman sebayanya. Dalam hal ini, mereka secara khas menanyakan kepada anak-anak yang tergabung dalam suatu organisasi, (misalnya, dalam ruan kelas), tentang mana anak-anak yang pantas dikelompokkan sebagai “taman baik” yang “paling disukai  oleh anak-anak lain”, atau yang kurang disukai. Atas dasar jawaban-jawaban dari anak-anak tersebut, para peneliti sebuah sosiogram, yaitu suatu diagram yang menggambarkan interaksi suatu anggota kelompok, atau bagaimanaperasaan masing-masinganak dalam suatu kelompok terhadap anak-anak lain. Sosiogram ini menentukan mana anak-anak yang diterima oleh anak-anak lain, mana yang diterima oleh sedikit teman sekelas, dan mana anak yang tidak diterima oleh seorangpun. Berdasarkan informasi ini, kemudian para penelitimembedakan  anak-anak atas dua, yaitu anak-anak yang populer (popular) dan anak-anak yang tidak populer (un populer).

Anak yang populer, popularitas seorang anak ditentukan oleh berbagai kualitas pribadi yang dimilikinya. Hartup (1983) mencatat bahwa anak yang pouler adalah anak yang ramah, suka bergaul, bersahabat, sangat peka secara sosial, dan sangat mudah bekerjasama dengan orang lain. Asher et.al (dalam Seifert dan Huffnung,1994), juga mencatat bahwa anak-anak yang populer adalah anak-anak yang dapat menjalin interaksi sosial dengan mudah, memahami situasi sosial, memiliki keterampilan yang tinggi dalam hubungan antar pribadi dan cenderung bertindak dengan cara-cara yang kooperatif, prososial, serta selaras dengan norma-norma kelompok. Popularitas juga dihubungkan dengan IQ dan prestasi akademik anak-anak lebih menyukai anak yang memiliki prestasi sedang, mereka sering menjauh dari anak yang sangat cerdas dan sangat rajin disekolah, demikian juga halnya dengan mereka yang pemalas secara akademis (Zigler dan Stevenson,1993).
Anak yang tidk populer. Dapat dibedakan atas 2 tipe, yaitu: anak-anak yang ditolak (Rejected Children), dan anak-anak yang diabaikan (Neglected Children) anak-anak yang diabaikan adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tetapi bukan berarti mereka tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Anak-anak yang ditolak adalah anak-anak yang tidak disukai oleh taman-teman sebaya mereka. Mereka cenderung bersifat mengganggu, egois, dan mempunyai sedikit sifat positif.
Anak-anak  yang ditolak kemungkinan untuk memperlihatkan perilaku agresif, hiperaktif, kurang perhatian atau ketidakdewasaan, sehingga sering bermasalah dalm perilaku dan akdemis disekolah (Pu tallaz dan Waserman, 1990). Akan tetapi tidak semua anak-anak yang ditolak bersifat agresif. Meskipun perilaku agresif implusif dan mengganggu, mereka sering menjadi penyebab mengapa mereka mengalami penolakan, namun kira-kira 10 hingga 20% anak-anak yang ditolak adalah anak  yang pemalu (Santrock,1996).
3.    Masa-masa remaja
Berbeda halnya dengan masa anak-anak hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Menurut Bloss (1962), pembentukan persahabatan remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phallic conflicts. Erikson (1968) memandang tren perkembangan ini dari perspektif normative-live-crisis, diaman teman memberikan feedback dan informasi yang konstruktif tentang self-definition dengan penerimaan komitmen.

Kelly dan Hansen (1987)menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu:


1.      Mengontrol implus-implus agresif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara-cara yang  lain selain dengan tindakan agresif langsung.
2.      Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen. Untuk mengambil peran dan tanggungjawab baru mereka. Dorongan yang diperoleh remaja dari teman-teman sebaya mereka ini akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan remaja pada dorongan keluraga mereka.
3.      Meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial. Mengembangkan kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih matang. Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya. Remaja belajar mengekspresikan ide-ide dan perasaan-perasaan serta mengembangkan kemampuan mereka memecahkan masalah.
4.      Mengambangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Sikap-sikap seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama  di bentuk melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar mengenai tingkah laku dan sikap-sikap yang mereka asosiasikan dengan menjadi laki-laki dan perempuan muda.
5.      Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Umumnya orang dewasa mengajarkan pada anak-anak mereka tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Dalam kelompok teman sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Remaja  mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan yang dimiliki teman sebayanya, serta memtuskan mana yang benar. Proses  mengevaluasi ini dapat membantu remaja mengembangkan kemampuan penalaran moral mereka.
6.      Meningkatkan hargadiri (self-esteem). Menjadi orang ayang disukai oleh sejumlah besar teman-teman sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang tentang dirinya.
Meskipun selama masa  remaja kelompok teman sebaya memberikan pengaruh yang besar, namun orang tua tetap memainkan peranan yang penting dalam kehidupan remaja. Hal ini karena hubungan dengan orang tua dan hubungna dengan teman sebaya memberikan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dalam perkembangan remaja (Savin-Williams dan Berndt, 1990).
C.  Persahabatan
Persahabatan adalah hubungan pribadi yang menyangkut keseluruhan pribadi berdasarkan kepercayaan yang mendalam dengan saling  membagikan sesuatu, menerima suatu yang merupakan

kesempatan untuk memperluas diri.
Ciri-ciri persahabatan
1.    Kesejatian. Persahabatan merupakan hubungan yang sejati. Didalamnya terkandung sejumlah sifat utama, seperti ketulusan, kejujuran, kesetiaan, dapat dipercaya dan terdapat kehangatan pribadi. Kesejatian juga mengandung penerimaan tanpa syarat, menghargai perbedaan individu, dapat mengatasi ketidak sesuaian, dan juga meliputi kepedulian yang  ditandai sikap saling memperhatikan, dsb.
2.    Keterbukaan diri. Keterbukaan diri mengandung pengertian seberapa jauh hubungan itu ditandai dengan adanya keetrbukaan kedua individu mengenai perasaan dan masalah pribadi masing-masing. Aspek ini mencurahkan semua perasaan, menceritakan masalah, mengekspresikan emosi yang bergejolak saat itu kepada sahabatnya, yang tidak dapat diungkapkan kepada yang lain.
3.    Kesamaan. Persahabatan juga memiliki siri adanya kesamaan antara dua pribadi. Kesamaan itu dapat berupa kesamaan karakteristik tertentu seperti latar belakang, etnis, agama, kelas sosial, pendidikan, usia, nilai-nilai, pandangan hidup sikap dan sebagainya. Secara naluriah, setiap individu menyukai orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan karakteristik menjadi dasar pembentukan persahabatan.
4.    Kebersamaan. Kebersamaan berkaitan dengan seberapa besar frekwensi kebersamaan yang dijalani oleh kedua belah pihak. Dalm mengisi waktu luangnya, seorang cenderung memilih teman dekatnay untuk menikmati dan menghabiskan waktu bersama-sama. Semakin tinggi frekwensi bersama-sama, semakin besar kemungkinan menjadi akrab. Kebersmaan tidak hanya dinilai dari kebersamaan secara fisik, tetapi juga non fisik. Tak selamanya individu yang menjalin persahabatan memiliki kedekatan secara fisik sehingga kebersamaan dapat juga dinikmati bersama melalui hp, email dan sebagainya.
Fungsi persahabatan
1.      Terhindar dari alienasi (perasaan terasing dari lingkungan sosialnya). Dampaknya tidak mendapat topangan dari lingkungannya.
2.      Dukungan emosi.
3.      Pengembangan pribadi.
4.      Mengembangkan ketrampilan sosial.
D.  Hubungan dengan sekolah

Disamping keluarga dan  teman sebaya, sekolah juga mempunyai penagruh yang sangat penting bagi perkembangan selam masa pertengahan dan akhir anak-anak. Betapa baik, selam masa pertengahan akhir anak-anak, anak menghabiskan kurang lebih 10.000 jam waktunya diruang kelas. Anak-anak menghabiskan waktu bertahun-tahun dissekolah sebagai anggota suatu masyarakat harus mengerjakan sejumlah tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan membatasi perilaku, perasaan dan sikap mereka (Santrock, 1995). Interaksi dengan guru dan teman sebaya disekolah, memberikan suatu peluan yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan. Kognitif dan keterampilan  sosial, memperoleh pengetahuan tentang dunia, serta mengembangkan konsep diri sepanjang masa pertengahan dan akhir anak-anak.
Menurut Seifert dan hoffnung (1994), sekolah mempengaruhi perkembangan anak melalui dua kurikulum, yaituacademic curiculum dan hidden curiculum. Academic curiculum meliputi sejumlah kewajiban yang diharapkan dikuasai oleh anak. Ia membantu anak memperoleh pengetahuan akademis dan kemampuan intelektualyang dibutuhkan untuk keberhasilan berpartisipasi dalm masyarakat, Hidden Curiculum meliputi sejumlah norma, harapan, dan penghargaan yang implisif untuk dipikirkan dan dilaksanakan dengan cara-cara tertentu yang disampaikan melalui hubungan soaial sekolah dan otoritas khususnya yang berkenaan dengan peran sosial guru-siswa dan perilaku yang diharapkan oleh masyarakat.
Pengaruh  guru
Slain dengan orang tua  mereka, kebanyakan anak-anak sekolah dasar menghabiskan lebih banyak waktunya bersama dengan guru-gurundibandingkan dengan orang dewasa lainnya. Guru merupakan simbol otoritas dan menciptakan iklim kelas dan kondisi-kondisi interaksi diantara murid-murid oleh sebab itu, sikap guru terhadap siswa mereka adalah penting, sdbab guru menagmbil suatu peran sentral dalm kehidupan anak-anak yang sangat menentukan bagaimana mereka merasakan berada disekolah dan bagaimana mereka merasakan diri mereka. Hal ini terutama selama tahun-tahun pertama atau kedua mereka masuk sekolah. Study yang dilakukan stipek (dalam Zigler dan Stevenson,1993) mengenai perubahan sosial dan perkembangan motivasi anak kelas satu, menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman keberhasilan atau kegagalan mereka lebih ditentukan oleh interaksi dengan guru mereka daripada oleh perstasi akademis nyata mereka.




E.Perkembangan Prososial Remaja
1.    Pengertian tingkah laku

Terdapat beberapa pendapat para ahli psikologi tentang prososial diantaranya:
a.       Sears dkk(1992)
Mendefinisikan bahwa tingkah laku prososial merupakan tingkah laku yang menguntungkan orang lain. Menurut Sears tingkah laku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperhatikan motif si penolong.
b.      Sri Utari Pidada(1982)
Mendefinisikan bahwa perilaku prososial adalah suatu tingkah laku yang mempunyai suatu akibat atau konsekwensi positif bagi patner interaksi, selain itu tingakah laku yang bias diklasifikasikan sebagai tingakah laku sosial sangat beragam dimulai dari bentuk yang paling sederhana hingga yang paling luar biasa.
c.       Wispe (1981)
Tingkah laku prososial adalah tingkah laku yang mempunyai konsekwensi sosial positif yaitu menambah kondisi fisik dan psikis orang lain menjadi lebih baik.
d.      Brigham (1991)
Menyatakan bahwa wujud tingkah laku yang mempunyai konsekwensi sosial prososial meliputi: murah hati(charity), persahabatan (friendship), kerjasama (cooperation), menolong (helping), penyelamatan (rescuing) dll.
e.       Bar-Tal(1976)
Tingkah laku prososial merupakan tingkah laku yang dilakukan secara suka rela, menguntungkan orang lain tanpa antisipasi reward eksternal dan tindakan prososial ini tidak dilakukan untuk dirinya sendiri.
f.       Lead (1972)
Menyatakan tiga criteria yang menentukan tingkah laku prososial(altruistic) yaitu:
1.      Tindakan yang bertujuan khusus menguntungkan orang tanpa mengharap reward eksternal.
2.      Tindakan yang dilakukan dengan suka rela.
3.      Tindakan yang menghasilkan hal yang positif.
g.       Wright sman dan Deaux (1981)

h.      Mendefinisikan  perilaku prososial sebagai perilaku seseorang yang mempunyai konsekuensi sosial posistif yang ditujukan bagi kesejahteraan orang lain secara fisik maupun psikologis.
Dari beberapa pendapat di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa tingkah laku prososial adalah tingkah laku sosial positif yang menguntungkan, yanmg ditujukan bagi kesejahteraan orang lain sehingga menjadikan kondisi fisik dan psikis orang lain menjadi lebih baik, selain itu tindakan, prososial dilakukan atas dasar suka rela tanpa mengharapkan reward eksternal.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa perkembangan perilaku prososial telah dimulai sejak masa anak-anak. Dengan bertambah nya usia seorang anak, maka empatinya terhadap orang lain juga akan semakin berkembang. Dalam psikologi perkembangan juga dikatakan bahwa kemampuan seorang anak dalam berbagai hal akan meningkat sesuai dengan berkembangnya usia.
2.      Sumber perilaku prososial
Sumber tingkah laku prososial dari dalam diri seseorang sumber endosentris merupakan keinginan untuk mengubah diri dengan menampilkan self-image secara keseluruhan indosentris ini meningkatkan konsep diri (self-concept), salah satu bentuk konsep diri adalah self expectation (harapan diri) yang bberbentuk rasa bahagia, kebanggaan, rasa aman, evaluasi diri yang positif. Harapan diri muncul karena seseorang hidup di lingkungan sosial, di mana dalam lingkungan sosial terdapat makna dan nilai. Norma sosial diperoleh remaja melalui proses sosialisasi yang kemudian diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari diri remaja itu
 Sendiri. Norma yang diinternalisasikan ke dalam harapan diri terdiri dari:
1.      Norms of aiding (norma menolong) adalah norma sosial untuk menolong orang lain yang membutuhkan.
2.      Norms of sosial respon sibility, adalah suatu norma  sosial yang dimana seorang individu menlong orang yang membutuhkan pertolongan walaupun orang yang ditolong tidak dapat membalas sama sekali.
3.      Norms of giving, adalah norma sosial dimana seorang menolong dengan suka rela.
4.      Norms of justify, adalah suatu norma sosial dimana tingkah laku menolong didasari oleh norma keadilan yaitu keseimbangan antar member dan menerima.
5.      Normus of reciprocity, adalah suatu norma sosial di mana seorang individu menolong orang lain karena merasa akan mendapat imbalan.

6.      Normus of quity, adalah suatu norma sosial di mana seorang individu menolong orang lain karena pernah ditolong sebelumnya.
b. eksosentris
adalah sumber untuk memperhatikan lingkungan eksternal yaitu membuat kondisi lebih baik dan menolong orang laindari kondisi buruk yang dialami. Orang yang melakukan tindakan menolong karena mengetahui atau merasakan kebutuhan, keinginan, dan penderitaan. Hal ini dijelaskan oleh Pilia Vin dan Pilravin bahwa tindakan menolong terjadi Karena:
1.      Adanya pengamatan terhadap kebutuhan atau penderitaan orang lain.
2.      Adanya pengamatan terhadap oleh orang lain, sehingga menimbulkan motivasi untuk mengiranginya.
3.      Perkembangan tingkah laku prososial
Tingkah laku prososial selalu berkembang sesuai perkembangan manusia, ada 6 tahapan perkembangan tingkah laku prososial  yaitu:
a.       Compliance dab Concret, defined reinforcement.
Pada tahap ini individu melakukan tingakah laku menolong karena  perintah yang disertai oleh reward. Pada  tahap ini remajha mempunyai perspektif egosentris yaitu mereka tidak menyadari bahwa orang lain mempunyai pikiran dan perasaan yang berbeda dengan mereka, selain itu perilaku prososial pada tahap ini terjadi karena adanya reward dan punishment yang konkrit.
b.      Compliance
Pada tahap ini individu melakukan tindakan menolong karena patuh pada perintah dari orang yang berkuasa. Tindakan menolong pada tahap ini dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendapat persetujuan dan menghindari hukuman.
c.       Internal ini tiative dan concret reward
Pada tahap ini individu menolong karena tergantung pada reward yang akan diterima, tindakan prososial dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan atau hadiah.
d.      Nominative Behavior
Pada tahap ini melakukan tindakan prososial untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Individu mengetahui berbagai tingkah laku yang sesuai

dengan norma masyarakat. Dalam tahap ini individu mampu memehami kebutuhan orang lain dan merasa simpati dengan penderitaan yang alami, tindakan prososial ini dilakukan karena adanya norma sosial yang meliputi: norma memberi dan norma tanggung jawab sosial.
e.       Generalized Reciprocity
Pada tahap ini seseorang melakukan tindakan menolong karena adanya kepercayaan apabila suatu saat ia membutuhkan bantuan maka ia akan mendapatkanya, harapan reward pada tahap ini non concret yang susah dijelaskan.
f.       Altruistic Behavior
Pada tahap ini seseorang melakukan tindakan menolong secara suka rela yang bertujuan untuk menolong dan menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan imbalan, tindakan prososial dilakukan karena pilihan individu sendiri yang didasarkan pada prinsip moral. Pada tahap ini individu sudah mulai dapat menilai kebutuhan orang lain dan tidak mengharapkan hubungan timbale balik untuk tindakanya.
F.Faktor-faktor yang mempengaruhi perkmbangan tingkah laku proposial     
Tingkah laku proposial dipandang sebagai tingkah laku yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, melalui hal ini manusia menjalankan fungsi kehidupan sebagai penolong dan di tolong.
     Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan tingkah laku proposial, antara lain:
a.       Orang tua
Hubungan antara remaja dan orang tua menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan remaja berperilaku proposial ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih luas, keluarga yang merupakan kelompok primer bagi remaja memiliki peran penting dalam pembentukan dan arahan perilaku remaja
      Hal-hal yang di peroleh dari lingkungan keluarga akan menentukan cara-cara remaja belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerja sama, dan menyatakan dirinya sebagai makhluk sosial.
      Cara bertingkah laku, dan sikap orang tua dalam keluarga akan mempengaruhi suasana remaja dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sosial diluar keluarga. Menurut ahmadi(1988) keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dalam

kehidupan remaja.
b.      Guru
       Selain orang tua, sekolah juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan tingkah laku proposial. Di sekolah guru dapat melatih dan mengarahkan tingkah laku proposial anak dengan menggunakan teknik yang efektif. Teknik bermain peran mengembangkan sensitivitas terhadap kebutuhan orang lain dan menambah kemampuan role taking dan empati. Di sekolah guru mempunyai kesempatan mengarahkan anak dengan menganalisis cerita dalam bahasa yang berbeda.
c.       Teman Sebaya
       Teman sebaya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan tingkah laku proposial misalnya guru dapat menggunakan teknik bermain peran, teknik ini melatih anak mempelajari situasi di mana tingkah laku menolong di peroleh dan bagaimana melaksanakan tindakan menolong tersebut .
       Khususnya pada masa remaja. Ketika usia remaja, kelompok sosial menjadi sumber utama dalam perolehan informasi, teman sebaya dapat memudahkan perkembangan tingkah laku proposial melalui penguatan, pemodelan dan pengarahan .
d.      Televisi
       Selain sebagai hiburan, televisi meupakan agen sosial yang penting melalui penggunaan muatan proposial, televisi bisa mempengaruhi pemirsa.dengan melihat program televisi, anak juga dapat mempelajari tingkah laku yang tepat dalam situasi tertentu, televisi juga tidak hanya mengajarkan anak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan, tetapi juga anak bisa mengerti dengan kebutuhan orang lain, membentuk tingkah laku proposial dan memudahkan perkembangan empati.
e.       Moral dan Agama
      Perkembangan tingkah laku proposial juga erat kaitanya dengan aturan agama dan moral. Menurut Sears dkk(1992)Menyatakan bahwa aturan agama dan moral kebanyakan masyarakat menekankan kewajiban menolong.
G.Implikasi tingkah Laku prososial dengan Konseling
      Beberapa strategi yang dapat di gunakan oleh guru pembimbing dalam upaya peserta didik dalam memperoleh tingkah laku interpersonal yang efektif :
1.      Mengajarkan ketrampilan sosial dan strategi pemecahan sosial

2.      Menggunakan strategi pembelajaran yang koperatif
3.      Meningkatkan kesadaran siswa terhadap efektifitas ketrampilan sosial dengan mencerminkan ketrampilan sosial tersebut
4.      Mengajak siswa untuk memikirkan dampak dari perilaku yang mereka miliki.
       Dalam hal implikasi perkembangan tingkah laku proposial terhadap konseling ini juga dapat dikaitkan dengan fungsi-fungsi konseling, selain itu konselor atau guru pembimbing juga dapat bekerja sama dengan pihak terkait.












18

BAB III
KESIMPULAN
A.     Gaya pengasuhan ada 3; authoritarian parentinguthoritarian parenting, dan permissive parenting. Di antara gaya pengasuhan tersebut, yang paling baik adalah authoritarian parenting.
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis, maka resiko gangguan kepribadian anti social dan berperilak menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang harmonis
B.     Pengertian teman sebaya;. Semua orang yang memiliki kesamaan social, cirri- ciri, tingkah laku dan psikologis.
Fungsi teman sebaya; sumber informasi tentang kemampuan dan tolok ukur untuk membandingkan diri anak.
C.     Persahabatan adalah hubungan pribadi yang menyangkut keseluruhan pribadi brdasarkan kepercayaan yag mendalam dan saling membagikan sesuatu,menerima seesuatu yang merupakan kesempataan untuk mempeerluas diri.
D.    Anak menghabiskankuranglebih 10000 waktunya di ruang kelas. Fungsi sekolah terhadap anak ada 2; academic curriculum dan hiden curriculum
E.     Tingkahlaku  prososial adalah tingkah laku positif yang menguntungkan, ditujukan ejahteraan orang lain, sehingga kondisi fisik maupun psikis orang lain menjadi lebih baik.
F.      Faktor yang mempengaruhi tingkah laku prososial; orang tua, guru, teman sebaya televisi, moral dan agama.
G.    Implikasi tingkah Laku prososial dengan Konseling
1.Mengajarkan ketrampilan sosial dan strategi pemecahan sosial
2. Menggunakan strategi pembelajaran yang koperatif


3.Meningkatkan kesadaran siswa terhadap efektifitas ketrampilan sosial dengan mencerminkan
ketrampilan sosial tersebut.


4.Mengajak siswa untuk memikirkan dampak dari perilaku yang mereka miliki















DAFTAR PUSTAKA
Desmita.2010.Psikologi Perkembangan.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Nashori, Fuad.2008.Psikologi Sosial Islami.Bandung:PT Refika Aditama














Tidak ada komentar:

Posting Komentar