HUBUNGAN INTERPERSONAL PESERTA DIDIK DAN
TINGKAH LAKU PROSOSIAL PESERTA DIDIK
Disusun
untuk memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
‘
Psikologi’
Disusun
Oleh kelompok: 5
Ø Ilin
Indah Pornama Sari
Ø Lailatul
Mufidah
Ø Luthfiatul
Muthoharoh
Ø Thoifatun
Nairuhah
Dosen
Pembimbing: Julianne Kamelia Riza, S.Spi
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH
‘
AL-URWATUL WUTSQO’
JOMBANG
TAHUN
AKADEMIK 2011/2012
i
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah, serta
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Berangkat dari judul yang ditentukan
pembimbing, yakni “Hubungan Interpersonal Peserta Didik dan
Tingkah Laku Prososial Peserta Didik”,
harapan kami semoga makalah yang sangat sederhana ini dapat memberikan manfaat
dan tambahan terhadap penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.
Kami menyadari bahwa kekurangan tentu masih
banyak dalam penulisan makalah ini, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
kami harapkan.
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL i
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Pembahasan 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Hubungan dengan Keluarga 3
B.
Hubungan dengan Teman Sebaya 6
C.
Persahabatan 10
D.
Hubungan dengan Sekolah 11
E.
Tingkah Laku Prososial 13
F.
Faktor yang Mempengaruhi Tingkah Laku
Prososial 16
G.
Implikasi Perkembangan Tingkah laku
Prososial dengan konseling 17
BAB
III KESIMPULAN 19
DAFTAR
PUSTAKA 21
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guru
merupakan symbol otoritas dalam menciptakan iklim kelas dan kondisi interaksi
di antara murid-murid. Oleh sebab itu sikap guru terhadap siswa mereka adalah
penting, sebab guru mengambil suatu peran sentral dalam kehidupan anak-anak,
yang sangat menentukan bagaimana mereka merasakan berada di sekolah dan
bagaimana mereka merasakan diri mereka. Ada beberapa hal yang kadang kala dapat
menghambat pemahaman peserta didik untuk menangkap pelajaran yang disampaikan
oleh guru. Untuk itu setiap guru hendaknya faham tentang kondisi setiap anak
didiknya. Hal itu bias dilakukan dengan cara mengetahui hubungan interpersonal
murid dengan keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah, dan lain-lain. Dengan
begitu seorang guru mampu mengambil tindakan yang tepan dalam mengatasi hambatan
tersebut.
Terdapat
beberapa tingkah laku social positif yang dilakukan peserta didik, di antaranya
adalah tingkah laku yang membuat kondisi fisik atau psikis orang lain menjadi
lebih baik, kondisi itu biasa disebut dengan tingkah laku prososial.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
Latar Belakang di atas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai
berikut ;
1.
Bagaimana hubungan interpersonal antara
anak dengan keluarga?
2.
Bagaimana hubungan interpersonal antara
anak dengan teman sebaya?
3.
Apakah persahabatan itu?
4.
Bagaimana hubungan interpersonal antar
anak dengan sekolah?
5.
Apa yang dimaksud tingkah laku
prososial?
6.
Apa saja faktor yang mempengaruhi
tingkah laku prososial?
7.
Bagaimana implikasi Perkembangan tingkah
laku prososial dengan konseling?
1
C. Tujuan pembahasan
1.
Untuk mengetahui hubungan interpersonal
antara anak dengan keluarga
2.
Untuk mengetahui hubungan interpersonal
antara anak dengan teman sebaya
3.
Untuk mengetahui pengertian persahabatan
itu
4.
Untuk mengetahui hubungan interpersonal
antar anak dengan sekolah
5.
Untuk mengetahui pengertian tingkah laku
prososial
6.
Untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi tingkah laku prososial
7.
Untuk mengetahui implikasi Perkembangan
tingkah laku prososial dengan konseling
2
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Hubungan
dengan keluarga
1.
Masa
anak-anak awal
Selama
tahun-tahun prasekolah, hubungan dengan orang atau pengasuhnya merupakan
dasarbagi pekembangan emosional dan sosial anak. Sejumlah ahli mempercayai
bahwa kasih sayang orang tua atau pengasuh selama beberapa tahun pertama
kehidupan merupakan kunci utama perkembangan soaial anak, meningkatkan
kemungkinan anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang
baik pada tahun-tahun prasekolah dan sesudahnya.
Salah
satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adlah gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh orang tua. Study klasik tentang hubungan orang tua dan anak
yang dilakukan Diana Baumrind 1972 (dalam lerner dan hultsch) merekomendasikan
tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam
tingkah laku sosial anak, yaitu otoritatif, otoriter dan permisif.
Pengasuhan
otoritatif (authoritative parenting) adalah salah satu gaya pengasuhan yang
memperlihatkan pengawasan ekstra ketat
terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati pemikiran,
perasaan, serta mengikut sertakan anak dalam pengambilan keputusan. Anak-anak
prasekolah dari orang tua otoritatif cenderung lebih percaya pada diri sendiri,
pengawasan diri sendiri, dan mampu bergaul baik dengan teman-teman sebayanya.
Pengasuhaqn otoritatif juga diasosiasikan dengan rasa harga diri yang tinggi
(high self –esteem) memiliki moral standar, kematangan psikososial, kemandirian
sukses dalam belajar. Dan bertanggung jawab secara sosial.
Pengasuhan
otoriter (authoritarian parenting)adalah suatu gaya pengasuahan membatasi dan
menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang otoriter
menetapkan batas-bats yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar bagi
anak-anak untuk mengungkapkan pendapat.Orang tua otoriter juga cenderung
bersikap sewenang-wenang dan tidak demokratis dalam membuat keputusan,
memaksakan peran-peran atau pandangan-pandangan kepada pemikiran dan persaan
mereka. Anak dari orang tua yang bersifat otoriter cenderung curiga pada orang
lain dan merasa tidak bahagia dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan
dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan
mempunyai prestasi belajar yang rendah dibanding dengan anak-anak lain.
Pengasuhan
permesif (permissive parenting) gaya pengasuhan permesif dapat dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu pertama pengasuhan
permissive-indulgent yaitu suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat
terlibat dalam kehidupan anak, tetapi
menetapkan sedikit batas atau kendali atas mereka sendiri dan selalu
menharapkan agar semua kemauannya dituruti. Kedua, pengasuhan permessive-indifferent,
yaitu semua gaya pengasuhan dimana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan
anak. Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua ini biasanya cenderung kurang
percaya diri, pengendalian diri yang buruk, dan harga diri yang rendah.
2.
Masa
pertengahan dan akhir anak-anak
Kemerosotan
dalam hubungan keluarga yang di mulai pada akhir masa bayi terus berlanjut pada
masa pertengahan dan akhir anak-anak. Sesuai dengan perkembangan kognitifnya
yang semakin matang, maka pada masa pertengahan dan akhir, anak secara
berangsur-angsur lebih banyak mempelajarimengenal sikap-sikap dan motivasi
orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, perubahan ini mempunyai
dampak yang besar terhadap kualitas
hubungan anak-anak usia sekolah dan orang tua mereka (dalam seifert dan
hoffnung, 1994). Dalam hal ini, orang tua meraskan pengontrolan dirinya
terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan
pada tahun-tahun awal kehidupan mereka. Beberapa kendali dialihkan dari orang
tua kepada anaknya, walaupun prosesnya secara bertahap dan merupakan
koregulasi.
Dengan
demikian, meskipun terjadinya pengurangan pengawasan dari orang tua terhadap
anaknya selama masa akhir anak-anak ini, bukan berarti orang tua sama sekali
melepaskan mereka. Sebaliknya orang tua
masih memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam memelihara diri
mereka, sekalipun secara tidak langsung.
Perubahan-perubahan
ini berperan dalam pembentukan stereotip pengasuhan dari orang tua sepanjang
masa akhir anak-anak. Dalam hal ini orang tua memandang pengasuhan hanya
meliputi mengurus masalah makanan, atau penerapan beberapa aturan saja.
Stereotip pengasuhan demikian jelas tidak mempertimbangkan aktivitas orang tua
dan anak yang masih sering dilakukan secara bersama-sama. Stereotip pengasuhan
ini juga tidak mempertimbangkan hubungan emosional yang mendasari aktivitas-aktivitas tersebut.
Pada
periode ini, orang tua dan anak-anak
masih mempunyai sekumpulan pengalamamn masa lalu bersama, dan pengalaman ini
membuat hubungan keluarga menjadi bertambah unik dan penuh arti. Suatu studi
mendokumentasikan mengenai gagasan ini dengan menganalisis dari anak-anak ini
bahwa mereka selamanya menghsrgsi kehadirang ibu dalam kehidupan mereka:”Dia
selalu hadir untuk mendengarkan” kata seorang anak. Mereka juga mengahrgai empati
atau sensifitas yang diberikan oleh ibu mereka : “Dia nampaknya selalu memahami
bagaimana perasaan saya”. Komentar ini menyiratkan bahwa pada masa akhir
anak-anak, secara tipikal, ikatan antara orang tua
dan anak-anak adalah sangat kuat (sefert dan hoffnung, 1994).
3.
Masa
remaja
Perubahan-perubahan
fisik, kognitif dan sosial yang terjadi dalam perkembangan remaja menonjol dari
remaja yang mempenagruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk
memperoleh otonomi, baik secara fisik maupun pikologis. Karena remaja
meluangkan lebih sedikit waktunya bersama orang tua dan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, maka
mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide, seiring dengan
terjadinya perubahan kognitif selama remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi
sering mendorongnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan
pelajaran-pelajaran yang yang berasal dari orang tua. Akibatnya, remaja mulai
mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan
ide-ide mereka sendiri. Orang tua tidak lagi dipandnag otoritas yang serba
tahu. Secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih
matang dan realistis dari orang tua mereka. Kesadaran bahwa mereka adalah
seorang yang memiliki kemampuan, bakat, dan pengetahuan tertentu, mereka
memandang orang tua sebagai orang yang harus dihormati, dan sekaligus dari
proses pencapaian otonomi psikologis ini mengharuskan anak remaja untuk
meninjau kembali gambaran tentang orang tua dan mengembangkan ide-ide pribadi.
Beberapa
peneliti tentang perkembangan anak remaja menyatakan bahwa pencapaian otonimi
psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa
remaja, akan tetapi terdapat perbedaan mengenai tipe lingkungan keluarga yang
lebih kondusif bagi perkembangan otonomi ini. Sejumlah teoritis dan penelitian
kontemporer menyatakan bahwa otonomi yang baik berkembang dari hubungan orang
tua yang positif dan suportif. Menurut mereka, hubungan orang tua yang suportif
memungkinkan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif, yang membantu
perkembangan kompetensi sosial dan otonomi yang bertanggung jawab. Hasil
penelitian lambor dan stemberg (1993) misalnya, menunjukkan bahwa perjuangan
remaja untuk meraih otonomi tampaknya berhasil dengan sangat baik dalam
lingkungan keluarga yang simultan memberikan dorongan dan kesempatan bagi
remaja untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap
tergantung secara emosional pada orang tuanya mungkin dirinya selalu merasa
enak, mereka terlihat kurang kompenten, kurang percaya diri, kuarang berhasil
dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan renaja yang mencapai kebebasan
emosional (Dacey dan Kenny, 1997).
Belakangan,
para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran keterikatan yang aman (scure
attachment) dengan orang tua terhadap perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa
keterikatan dengan orang tua pada
masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya,
seperti tercermin dalam cirri-ciri: harga diri, penyesuaian emosional, dan
kesehatan fisik. Misalnya, remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan
harmonis dengan orang tua mereka, memiliki harga diri dan kesejahteraan yang
emosional yang lebih baik. Sebaliknya, ketidakdekatan (detachment) emosional dengan orang tua
berhubungan denagn perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang lebih
besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantic yang
dimiliki diri sendiri (santrock, 1995).
Dengan
demikian, keterikatan dengan orang tua selam masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan
yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan
baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara
psikologis. Keterikatan yang kokoh dengan orang tua akan meningkatkan relasi
dengan teman sebaya yang lebih kompeten dan hubungan erat yang positif diluar
keluarga. Keterikatan yang kokoh dengan orang tua juga dapat menyangga remaja
dari kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai akibat dari masa transisi,
dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Begitu
pentingnya factor keterikatan yang kuat antara orang tua dengan remaja dalam
menentukan arah perkembangan remaja, maka orang tua senantiasa harus menjaga
dan mempertahankan keterikatan atau kedekatan orang tua dengan anak remaja
mereka, orang tua harus membiarkan mereka bebas untuk berkembang hanya dengan
cara melepaskan mereka suatu kehidupan yang koeksistensi yang penuh kedamaian
dan makna orang tua dan remaja bias dicapai. Dengan
perkataan lain, bahwa ketika remaja menuntut otonomi, maka orang tua yang
bijaksana harus melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana remaja dapat
mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal, disamping terus memberikan
bimbingan untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada
bidang-bidang dimana pengetahuan anak remajanya masih terbatas.
B. Hubungan
dengan teman sebaya
1.
Masa
anak-anak awal
Perkembangan
psikososial dan kepribadian sejak usia prasekolah hingga akhir masa ditandai
oleh semakin meluasnya pergaulan sosial,
terutama dengan teman sebaya. Dengan sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial
sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial, atau
yang memiliki kesamaan ciri-ciri, seperti kesamaan tingkat usia(hetherington
dan parke, 1981). Akan tetapi, belakangan definisi teman sebaya lebih
ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis(Lewis dan Rosenblum,
1975).
Sejumlah
penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman
sebaya memiliki arti yang sangat
penting bagi perkembangan pribadi anak.
Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting ialah menyediakan
suatu sumber informasi dan umpan
balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelpompok teman sebaya. Anak-anak
mengavaluasi apakah yang mereka lakukan
lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain. Menggunakan
orang lain sebagai tolok ukur untuk membandingkan dirinya. Proses
pembandingan sosial ini merupakan dasar bagi pembentukan rasa harga diri dan
gambaran diri anak(hethering dan parke, 1981).
Dari
beberapa investigasi yang dilakukan oleh para ahli perkembangan menunjukkan
bahwa relasi yang baik antar teman sebaya memiliki peran penting dalam perkembangan
sosial yang normal. Isolasi sosial atau ketidak mampuan untuk melebur ke dalam
suatu jaringan sosial, diasosiasikan dengan banyak masalah dan kelainan yang
beragam, mulai dari kenakalan dan masalah minuman keras hingga depresi. Bahkan
relasi yang buruk diantara teman-teman sebaya pada masa anak-anak diasosiasikan
dengan suatu kecenderungan untuk putus sekolah perilaku nakal pada masa remaja.
Sebaliknya, relasi yang harmonis diantara teman-teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan denagn kesehatan mental
yang positif pada usia tengah baya(Santrock,1995).
2.
Masa
pertengahan dan akhir anak-anak.
Seperti
halnya dengan masa awal anak-anak, berinteraksi dengan teman sebaya merupakan
aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir
anak-anak. Barker dan Wright (dalam , 1995) mencatat bahwa anak-anak usia 2
tahun menghabiskan 10% waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.
Pada usia tahun 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman
sebaya meningkat menjadi 20%. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 meluangkan lebih
dari 40% waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.
Ø
Pembentukan
kelompok
Interaksi teman sebaya dari
kebanyakan anak pada periode akhir ini terjadi dalam group atau kelompok,
sehingga periode ini sering disebut usia kelompok. Pada masa ini, anaka tidak
lagi puas bermain sendirian dirumah, atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan
anggota keluarga. Hal ini adalah karena anaka memiliki keinginan yang kuat
untuk di terima sebagai anggota kelompok, serta merasa tidak puas bila tidak
bersama teman-temannya.
Dalam menentukan sebuah kelompok
teman, anak usia sekolah dasar ini lebih menekankan pentingnya aktivitas
bersama-bersama, seperti berbicara, berkeluyuran, berjalan ke sekolah,
berbicara malalui telephon, mendengarkan musik, bermain game, dan melucu. Tinggal di lingkungan yang sama,
bersekolah disekolah yang sama, dan kemungkinan
terbentuknya kelompok teman
sebaya (Rubin dan Krasnor,1980). Mencatat adanya perubahan sifat dari kelompok
teman sebaya pada masa pertengahan anak-anak ketika anak berusia 6 hingga 7
tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih dari pada kelompok bermain; mereka
memilik sedikit peraturan dan tidak terstruktur untuk menjelaskan peran dan
kemudahan berinteraksi diantara anggota-anggotanya. Kelompok terbentuk secara
spontan. Ketika anak berusia 9 tahun, kelompok-kelompok menjadi lebih formal.
Sekarang anak-anak berkumpul menurur minat yang sama dan merencanakan
perlombaan-perlombaan. Mereka membentuk klub atau kelompok dengan aturan-aturan
tertentu. Kelompok-kelompok ini mempunyai keanggotaan inti; masing-masing
anggota harus berpartisipasi dalam aktivitas kelompn ok, dan yang bukan anggota
dikluarkan.
Ø
Popularitas,
penerimaan sosial dan penolakan
Pada masa pertengahan dan akhir
anak-anak, anak mulai mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan
berbagai cara. Hal ini terlihat pada anak-anak kelas dua atau kelas tiga yang
telah memiliki stereotip. Budaya tentang tubuh. Dalm hal ini mereka misalnya
menilai bahwa anak alki-laki yang tegap (berotot) lebih disenangi dari pada
anak laki-laki yang gemuk atau yang kurus. Kemudian pemilihan teman dari
anak-anak ini terus meningkat dengan lebih mendasarkan pada kualitas pribadi,
seperti kejujuran, kebaikan hati, humor dan kreatifitas.
Para ahli psikologi perkembangan
telah lama mempelajari pembentuka kelompok teman sebaya dan status dalam untuk menentukan mana anak-anak yang sering
sendiri dan mana yang disenangi oleh anak-anak lain. Dalam penelitian ini,
mereka tealh menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri, (Hallman,1981),
yaitu suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menentukan status dan
penerimaan sosial anak diantara teman sebayanya. Dalam hal ini, mereka secara
khas menanyakan kepada anak-anak yang tergabung dalam suatu organisasi,
(misalnya, dalam ruan kelas), tentang mana anak-anak yang pantas dikelompokkan
sebagai “taman baik” yang “paling disukai
oleh anak-anak lain”, atau yang kurang disukai. Atas dasar jawaban-jawaban
dari anak-anak tersebut, para peneliti sebuah sosiogram, yaitu suatu diagram
yang menggambarkan interaksi suatu anggota kelompok, atau bagaimanaperasaan
masing-masinganak dalam suatu kelompok terhadap anak-anak lain. Sosiogram ini
menentukan mana anak-anak yang diterima oleh anak-anak lain, mana yang diterima
oleh sedikit teman sekelas, dan mana anak yang tidak diterima oleh seorangpun.
Berdasarkan informasi ini, kemudian para penelitimembedakan anak-anak atas dua, yaitu anak-anak yang
populer (popular) dan anak-anak yang tidak populer (un populer).
Anak yang populer, popularitas
seorang anak ditentukan oleh berbagai kualitas pribadi yang dimilikinya. Hartup
(1983) mencatat bahwa anak yang pouler adalah anak yang ramah, suka bergaul,
bersahabat, sangat peka secara sosial, dan sangat mudah bekerjasama dengan
orang lain. Asher et.al (dalam Seifert dan Huffnung,1994), juga mencatat bahwa
anak-anak yang populer adalah anak-anak yang dapat menjalin interaksi sosial
dengan mudah, memahami situasi sosial, memiliki keterampilan yang tinggi dalam
hubungan antar pribadi dan cenderung bertindak dengan cara-cara yang
kooperatif, prososial, serta selaras dengan norma-norma kelompok. Popularitas
juga dihubungkan dengan IQ dan prestasi akademik anak-anak lebih menyukai anak
yang memiliki prestasi sedang, mereka sering menjauh dari anak yang sangat
cerdas dan sangat rajin disekolah, demikian juga halnya dengan mereka yang
pemalas secara akademis (Zigler dan Stevenson,1993).
Anak yang tidk populer. Dapat dibedakan
atas 2 tipe, yaitu: anak-anak yang ditolak (Rejected Children), dan anak-anak
yang diabaikan (Neglected Children) anak-anak yang diabaikan adalah anak yang
menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tetapi bukan berarti
mereka tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Anak-anak yang ditolak
adalah anak-anak yang tidak disukai oleh taman-teman sebaya mereka. Mereka
cenderung bersifat mengganggu, egois, dan mempunyai sedikit sifat positif.
Anak-anak yang ditolak kemungkinan untuk memperlihatkan
perilaku agresif, hiperaktif, kurang perhatian atau ketidakdewasaan, sehingga
sering bermasalah dalm perilaku dan akdemis disekolah (Pu tallaz dan Waserman,
1990). Akan tetapi tidak semua anak-anak yang ditolak bersifat agresif.
Meskipun perilaku agresif implusif dan mengganggu, mereka sering menjadi
penyebab mengapa mereka mengalami penolakan, namun kira-kira 10 hingga 20%
anak-anak yang ditolak adalah anak yang
pemalu (Santrock,1996).
3.
Masa-masa
remaja
Berbeda
halnya dengan masa anak-anak hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada
hubungan persahabatan. Menurut Bloss (1962), pembentukan persahabatan remaja
erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang
berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phallic conflicts.
Erikson (1968) memandang tren perkembangan ini dari perspektif
normative-live-crisis, diaman teman memberikan feedback dan informasi yang
konstruktif tentang self-definition dengan penerimaan komitmen.
Kelly dan
Hansen (1987)menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu:
1.
Mengontrol
implus-implus agresif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar
bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara-cara yang lain selain dengan tindakan agresif langsung.
2.
Memperoleh
dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen. Untuk mengambil
peran dan tanggungjawab baru mereka. Dorongan yang diperoleh remaja dari
teman-teman sebaya mereka ini akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan
remaja pada dorongan keluraga mereka.
3.
Meningkatkan
keterampilan-keterampilan sosial. Mengembangkan kemampuan penalaran, dan
belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih
matang. Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya. Remaja belajar
mengekspresikan ide-ide dan perasaan-perasaan serta mengembangkan kemampuan
mereka memecahkan masalah.
4.
Mengambangkan
sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Sikap-sikap
seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama di bentuk melalui interaksi dengan teman
sebaya, remaja belajar mengenai tingkah laku dan sikap-sikap yang mereka
asosiasikan dengan menjadi laki-laki dan perempuan muda.
5.
Memperkuat
penyesuaian moral dan nilai-nilai. Umumnya orang dewasa mengajarkan pada
anak-anak mereka tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Dalam kelompok teman sebaya,
remaja mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan
yang dimiliki teman sebayanya, serta memtuskan mana yang benar. Proses mengevaluasi ini dapat membantu remaja
mengembangkan kemampuan penalaran moral mereka.
6.
Meningkatkan
hargadiri (self-esteem). Menjadi orang ayang disukai oleh sejumlah besar
teman-teman sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang tentang dirinya.
Meskipun
selama masa remaja kelompok teman sebaya
memberikan pengaruh yang besar, namun orang tua tetap memainkan peranan yang
penting dalam kehidupan remaja. Hal ini karena hubungan dengan orang tua dan
hubungna dengan teman sebaya memberikan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan yang
berbeda dalam perkembangan remaja (Savin-Williams dan Berndt, 1990).
C. Persahabatan
Persahabatan adalah
hubungan pribadi yang menyangkut keseluruhan pribadi berdasarkan kepercayaan yang
mendalam dengan saling membagikan
sesuatu, menerima suatu yang merupakan
kesempatan untuk
memperluas diri.
Ciri-ciri
persahabatan
1.
Kesejatian.
Persahabatan merupakan hubungan yang sejati. Didalamnya terkandung sejumlah
sifat utama, seperti ketulusan, kejujuran, kesetiaan, dapat dipercaya dan
terdapat kehangatan pribadi. Kesejatian juga mengandung penerimaan tanpa
syarat, menghargai perbedaan individu, dapat mengatasi ketidak sesuaian, dan
juga meliputi kepedulian yang ditandai
sikap saling memperhatikan, dsb.
2.
Keterbukaan
diri. Keterbukaan diri mengandung pengertian seberapa jauh hubungan itu
ditandai dengan adanya keetrbukaan kedua individu mengenai perasaan dan masalah
pribadi masing-masing. Aspek ini mencurahkan semua perasaan, menceritakan
masalah, mengekspresikan emosi yang bergejolak saat itu kepada sahabatnya, yang
tidak dapat diungkapkan kepada yang lain.
3.
Kesamaan.
Persahabatan juga memiliki siri adanya kesamaan antara dua pribadi. Kesamaan
itu dapat berupa kesamaan karakteristik tertentu seperti latar belakang, etnis,
agama, kelas sosial, pendidikan, usia, nilai-nilai, pandangan hidup sikap dan
sebagainya. Secara naluriah, setiap individu menyukai orang yang memiliki
kesamaan dengan dirinya. Kesamaan karakteristik menjadi dasar pembentukan
persahabatan.
4.
Kebersamaan.
Kebersamaan berkaitan dengan seberapa besar frekwensi kebersamaan yang dijalani
oleh kedua belah pihak. Dalm mengisi waktu luangnya, seorang cenderung memilih
teman dekatnay untuk menikmati dan menghabiskan waktu bersama-sama. Semakin
tinggi frekwensi bersama-sama, semakin besar kemungkinan menjadi akrab.
Kebersmaan tidak hanya dinilai dari kebersamaan secara fisik, tetapi juga non
fisik. Tak selamanya individu yang menjalin persahabatan memiliki kedekatan
secara fisik sehingga kebersamaan dapat juga dinikmati bersama melalui hp,
email dan sebagainya.
Fungsi persahabatan
1.
Terhindar
dari alienasi (perasaan terasing dari lingkungan sosialnya). Dampaknya tidak
mendapat topangan dari lingkungannya.
2.
Dukungan
emosi.
3.
Pengembangan
pribadi.
4.
Mengembangkan
ketrampilan sosial.
D. Hubungan
dengan sekolah
Disamping keluarga
dan teman sebaya, sekolah juga mempunyai
penagruh yang sangat penting bagi perkembangan selam masa pertengahan dan akhir
anak-anak. Betapa baik, selam masa pertengahan akhir anak-anak, anak
menghabiskan kurang lebih 10.000 jam waktunya diruang kelas. Anak-anak menghabiskan
waktu bertahun-tahun dissekolah sebagai anggota suatu masyarakat harus
mengerjakan sejumlah tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan
membatasi perilaku, perasaan dan sikap mereka (Santrock, 1995). Interaksi
dengan guru dan teman sebaya disekolah, memberikan suatu peluan yang besar bagi
anak-anak untuk mengembangkan kemampuan. Kognitif dan keterampilan sosial, memperoleh pengetahuan tentang dunia,
serta mengembangkan konsep diri sepanjang masa pertengahan dan akhir anak-anak.
Menurut Seifert dan
hoffnung (1994), sekolah mempengaruhi perkembangan anak melalui dua kurikulum,
yaituacademic curiculum dan hidden curiculum. Academic curiculum meliputi
sejumlah kewajiban yang diharapkan dikuasai oleh anak. Ia membantu anak
memperoleh pengetahuan akademis dan kemampuan intelektualyang dibutuhkan untuk
keberhasilan berpartisipasi dalm masyarakat, Hidden Curiculum meliputi sejumlah
norma, harapan, dan penghargaan yang implisif untuk dipikirkan dan dilaksanakan
dengan cara-cara tertentu yang disampaikan melalui hubungan soaial sekolah dan
otoritas khususnya yang berkenaan dengan peran sosial guru-siswa dan perilaku
yang diharapkan oleh masyarakat.
Pengaruh guru
Slain
dengan orang tua mereka, kebanyakan
anak-anak sekolah dasar menghabiskan lebih banyak waktunya bersama dengan
guru-gurundibandingkan dengan orang dewasa lainnya. Guru merupakan simbol
otoritas dan menciptakan iklim kelas dan kondisi-kondisi interaksi diantara
murid-murid oleh sebab itu, sikap guru terhadap siswa mereka adalah penting,
sdbab guru menagmbil suatu peran sentral dalm kehidupan anak-anak yang sangat
menentukan bagaimana mereka merasakan berada disekolah dan bagaimana mereka
merasakan diri mereka. Hal ini terutama selama tahun-tahun pertama atau kedua
mereka masuk sekolah. Study yang dilakukan stipek (dalam Zigler dan
Stevenson,1993) mengenai perubahan sosial dan perkembangan motivasi anak kelas
satu, menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman keberhasilan atau kegagalan
mereka lebih ditentukan oleh interaksi dengan guru mereka daripada oleh
perstasi akademis nyata mereka.
E.Perkembangan
Prososial Remaja
1.
Pengertian
tingkah laku
Terdapat beberapa pendapat para
ahli psikologi tentang prososial diantaranya:
a.
Sears
dkk(1992)
Mendefinisikan
bahwa tingkah laku prososial merupakan tingkah laku yang menguntungkan orang
lain. Menurut Sears tingkah laku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang
dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperhatikan
motif si penolong.
b.
Sri
Utari Pidada(1982)
Mendefinisikan
bahwa perilaku prososial adalah suatu tingkah laku yang mempunyai suatu akibat
atau konsekwensi positif bagi patner interaksi, selain itu tingakah laku yang
bias diklasifikasikan sebagai tingakah laku sosial sangat beragam dimulai dari
bentuk yang paling sederhana hingga yang paling luar biasa.
c.
Wispe
(1981)
Tingkah
laku prososial adalah tingkah laku yang mempunyai konsekwensi sosial positif
yaitu menambah kondisi fisik dan psikis orang lain menjadi lebih baik.
d.
Brigham
(1991)
Menyatakan
bahwa wujud tingkah laku yang mempunyai konsekwensi sosial prososial meliputi:
murah hati(charity), persahabatan (friendship), kerjasama (cooperation),
menolong (helping), penyelamatan (rescuing) dll.
e.
Bar-Tal(1976)
Tingkah
laku prososial merupakan tingkah laku yang dilakukan secara suka rela,
menguntungkan orang lain tanpa antisipasi reward eksternal dan tindakan
prososial ini tidak dilakukan untuk dirinya sendiri.
f.
Lead
(1972)
Menyatakan
tiga criteria yang menentukan tingkah laku prososial(altruistic) yaitu:
1.
Tindakan
yang bertujuan khusus menguntungkan orang tanpa mengharap reward eksternal.
2.
Tindakan
yang dilakukan dengan suka rela.
3.
Tindakan
yang menghasilkan hal yang positif.
g.
Wright
sman dan Deaux (1981)
h.
Mendefinisikan perilaku prososial sebagai perilaku seseorang
yang mempunyai konsekuensi sosial posistif yang ditujukan bagi kesejahteraan
orang lain secara fisik maupun psikologis.
Dari beberapa pendapat di atas
dapat kita ambil kesimpulan bahwa tingkah laku prososial adalah tingkah laku
sosial positif yang menguntungkan, yanmg ditujukan bagi kesejahteraan orang
lain sehingga menjadikan kondisi fisik dan psikis orang lain menjadi lebih
baik, selain itu tindakan, prososial dilakukan atas dasar suka rela tanpa
mengharapkan reward eksternal.
Beberapa penelitian yang telah
dilakukan menyatakan bahwa perkembangan perilaku prososial telah dimulai sejak
masa anak-anak. Dengan bertambah nya usia seorang anak, maka empatinya terhadap
orang lain juga akan semakin berkembang. Dalam psikologi perkembangan juga
dikatakan bahwa kemampuan seorang anak dalam berbagai hal akan meningkat sesuai
dengan berkembangnya usia.
2.
Sumber
perilaku prososial
Sumber
tingkah laku prososial dari dalam diri seseorang sumber endosentris merupakan
keinginan untuk mengubah diri dengan menampilkan self-image secara keseluruhan
indosentris ini meningkatkan konsep diri (self-concept), salah satu bentuk
konsep diri adalah self expectation (harapan diri) yang bberbentuk rasa
bahagia, kebanggaan, rasa aman, evaluasi diri yang positif. Harapan diri muncul
karena seseorang hidup di lingkungan sosial, di mana dalam lingkungan sosial
terdapat makna dan nilai. Norma sosial diperoleh remaja melalui proses
sosialisasi yang kemudian diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari diri
remaja itu
Sendiri. Norma yang diinternalisasikan ke
dalam harapan diri terdiri dari:
1.
Norms
of aiding (norma menolong) adalah norma sosial untuk menolong orang lain yang
membutuhkan.
2.
Norms
of sosial respon sibility, adalah suatu norma
sosial yang dimana seorang individu menlong orang yang membutuhkan
pertolongan walaupun orang yang ditolong tidak dapat membalas sama sekali.
3.
Norms
of giving, adalah norma sosial dimana seorang menolong dengan suka rela.
4.
Norms
of justify, adalah suatu norma sosial dimana tingkah laku menolong didasari
oleh norma keadilan yaitu keseimbangan antar member dan menerima.
5.
Normus
of reciprocity, adalah suatu norma sosial di mana seorang individu menolong
orang lain karena merasa akan mendapat imbalan.
6.
Normus
of quity, adalah suatu norma sosial di mana seorang individu menolong orang
lain karena pernah ditolong sebelumnya.
b.
eksosentris
adalah
sumber untuk memperhatikan lingkungan eksternal yaitu membuat kondisi lebih
baik dan menolong orang laindari kondisi buruk yang dialami. Orang yang
melakukan tindakan menolong karena mengetahui atau merasakan kebutuhan,
keinginan, dan penderitaan. Hal ini dijelaskan oleh Pilia Vin dan Pilravin
bahwa tindakan menolong terjadi Karena:
1.
Adanya
pengamatan terhadap kebutuhan atau penderitaan orang lain.
2.
Adanya
pengamatan terhadap oleh orang lain, sehingga menimbulkan motivasi untuk
mengiranginya.
3.
Perkembangan
tingkah laku prososial
Tingkah
laku prososial selalu berkembang sesuai perkembangan manusia, ada 6 tahapan
perkembangan tingkah laku prososial
yaitu:
a.
Compliance
dab Concret, defined reinforcement.
Pada
tahap ini individu melakukan tingakah laku menolong karena perintah yang disertai oleh reward. Pada tahap ini remajha mempunyai perspektif
egosentris yaitu mereka tidak menyadari bahwa orang lain mempunyai pikiran dan
perasaan yang berbeda dengan mereka, selain itu perilaku prososial pada tahap
ini terjadi karena adanya reward dan punishment yang konkrit.
b.
Compliance
Pada
tahap ini individu melakukan tindakan menolong karena patuh pada perintah dari
orang yang berkuasa. Tindakan menolong pada tahap ini dimotivasi oleh kebutuhan
untuk mendapat persetujuan dan menghindari hukuman.
c.
Internal
ini tiative dan concret reward
Pada
tahap ini individu menolong karena tergantung pada reward yang akan diterima,
tindakan prososial dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan atau
hadiah.
d.
Nominative
Behavior
Pada
tahap ini melakukan tindakan prososial untuk memenuhi tuntutan masyarakat.
Individu mengetahui berbagai tingkah laku yang sesuai
dengan
norma masyarakat. Dalam tahap ini individu mampu memehami kebutuhan orang lain
dan merasa simpati dengan penderitaan yang alami, tindakan prososial ini
dilakukan karena adanya norma sosial yang meliputi: norma memberi dan norma
tanggung jawab sosial.
e.
Generalized
Reciprocity
Pada
tahap ini seseorang melakukan tindakan menolong karena adanya kepercayaan
apabila suatu saat ia membutuhkan bantuan maka ia akan mendapatkanya, harapan
reward pada tahap ini non concret yang susah dijelaskan.
f.
Altruistic
Behavior
Pada
tahap ini seseorang melakukan tindakan menolong secara suka rela yang bertujuan
untuk menolong dan menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan imbalan,
tindakan prososial dilakukan karena pilihan individu sendiri yang didasarkan
pada prinsip moral. Pada tahap ini individu sudah mulai dapat menilai kebutuhan
orang lain dan tidak mengharapkan hubungan timbale balik untuk tindakanya.
F.Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkmbangan tingkah laku proposial
Tingkah laku proposial
dipandang sebagai tingkah laku yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan,
melalui hal ini manusia menjalankan fungsi kehidupan sebagai penolong dan di
tolong.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan tingkah laku proposial, antara lain:
a. Orang
tua
Hubungan antara remaja dan
orang tua menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan remaja berperilaku
proposial ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih luas, keluarga
yang merupakan kelompok primer bagi remaja memiliki peran penting dalam
pembentukan dan arahan perilaku remaja
Hal-hal yang di peroleh dari lingkungan
keluarga akan menentukan cara-cara remaja belajar memperhatikan
keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerja sama, dan menyatakan dirinya
sebagai makhluk sosial.
Cara bertingkah laku, dan sikap orang tua
dalam keluarga akan mempengaruhi suasana remaja dalam melakukan interaksi
dengan lingkungan sosial diluar keluarga. Menurut ahmadi(1988) keluarga
merupakan lingkungan sosial pertama dalam
kehidupan remaja.
b. Guru
Selain orang tua, sekolah juga mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan tingkah laku proposial. Di
sekolah guru dapat melatih dan mengarahkan tingkah laku proposial anak dengan
menggunakan teknik yang efektif. Teknik bermain peran mengembangkan
sensitivitas terhadap kebutuhan orang lain dan menambah kemampuan role taking
dan empati. Di sekolah guru mempunyai kesempatan mengarahkan anak dengan
menganalisis cerita dalam bahasa yang berbeda.
c. Teman
Sebaya
Teman sebaya mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan tingkah laku proposial misalnya guru dapat menggunakan teknik
bermain peran, teknik ini melatih anak mempelajari situasi di mana tingkah laku
menolong di peroleh dan bagaimana melaksanakan tindakan menolong tersebut .
Khususnya pada masa remaja. Ketika usia
remaja, kelompok sosial menjadi sumber utama dalam perolehan informasi, teman
sebaya dapat memudahkan perkembangan tingkah laku proposial melalui penguatan,
pemodelan dan pengarahan .
d. Televisi
Selain sebagai hiburan, televisi
meupakan agen sosial yang penting melalui penggunaan muatan proposial, televisi
bisa mempengaruhi pemirsa.dengan melihat program televisi, anak juga dapat
mempelajari tingkah laku yang tepat dalam situasi tertentu, televisi juga tidak
hanya mengajarkan anak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan,
tetapi juga anak bisa mengerti dengan kebutuhan orang lain, membentuk tingkah
laku proposial dan memudahkan perkembangan empati.
e. Moral
dan Agama
Perkembangan tingkah laku proposial juga
erat kaitanya dengan aturan agama dan moral. Menurut Sears dkk(1992)Menyatakan
bahwa aturan agama dan moral kebanyakan masyarakat menekankan kewajiban
menolong.
G.Implikasi
tingkah Laku prososial dengan Konseling
Beberapa strategi yang dapat di gunakan
oleh guru pembimbing dalam upaya peserta didik dalam memperoleh tingkah laku
interpersonal yang efektif :
1. Mengajarkan
ketrampilan sosial dan strategi pemecahan sosial
2. Menggunakan
strategi pembelajaran yang koperatif
3. Meningkatkan
kesadaran siswa terhadap efektifitas ketrampilan sosial dengan mencerminkan
ketrampilan sosial tersebut
4. Mengajak
siswa untuk memikirkan dampak dari perilaku yang mereka miliki.
Dalam hal implikasi perkembangan tingkah
laku proposial terhadap konseling ini juga dapat dikaitkan dengan fungsi-fungsi
konseling, selain itu konselor atau guru pembimbing juga dapat bekerja sama
dengan pihak terkait.
18
BAB III
KESIMPULAN
A.
Gaya pengasuhan ada 3; authoritarian
parentinguthoritarian parenting, dan permissive parenting. Di antara gaya
pengasuhan tersebut, yang paling baik adalah authoritarian parenting.
Anak
yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis, maka resiko
gangguan kepribadian anti social dan berperilak menyimpang lebih besar
dibandingkan dengan anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang harmonis
B.
Pengertian teman sebaya;. Semua orang
yang memiliki kesamaan social, cirri- ciri, tingkah laku dan psikologis.
Fungsi
teman sebaya; sumber informasi tentang kemampuan dan tolok ukur untuk
membandingkan diri anak.
C.
Persahabatan adalah hubungan pribadi
yang menyangkut keseluruhan pribadi brdasarkan kepercayaan yag mendalam dan
saling membagikan sesuatu,menerima seesuatu yang merupakan kesempataan untuk
mempeerluas diri.
D.
Anak menghabiskankuranglebih 10000
waktunya di ruang kelas. Fungsi sekolah terhadap anak ada 2; academic
curriculum dan hiden curriculum
E.
Tingkahlaku prososial adalah tingkah laku positif yang
menguntungkan, ditujukan ejahteraan orang lain, sehingga kondisi fisik maupun
psikis orang lain menjadi lebih baik.
F.
Faktor yang mempengaruhi tingkah laku
prososial; orang tua, guru, teman sebaya televisi, moral dan agama.
G.
Implikasi tingkah Laku prososial dengan
Konseling
1.Mengajarkan
ketrampilan sosial dan strategi pemecahan sosial
2.
Menggunakan strategi pembelajaran yang koperatif
3.Meningkatkan
kesadaran siswa terhadap efektifitas ketrampilan sosial dengan mencerminkan
ketrampilan sosial tersebut.
4.Mengajak
siswa untuk memikirkan dampak dari perilaku yang mereka miliki
DAFTAR
PUSTAKA
Desmita.2010.Psikologi
Perkembangan.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Nashori,
Fuad.2008.Psikologi Sosial Islami.Bandung:PT Refika Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar